Halaman

Kamis, 03 November 2011

KONSTITUSI


@referensi aja 
Istilah konstitusi telah dikenal semenjak zaman yunani purba, akan tetapi masih diartikan materiil, sebab belum diletakkan dalam suatu naskah yg tertulis. Hal ini dapat di buktikan pada paham Aristoteles yang membedakan istilah Politiea dan Nomoi. Politiea diartikan sebagai konstitusi sedangkan Nomoi diartikan undang-undang. Politiea mengandung kekuasaan tertinggi dari pada Nomoi. Pada zaman Rumawi dikenal adanya Lex Regia yang berisikan perjanjian perpindahan kekuasaan rakyat ke Caesar yang berkuasa mutlak. Dalam abad menengah dikenal pula sejenis konstitusi yang disebut Leges Foundamentalis yang berisikan hak dan kewajiban re\akyat atau Rex dan Raja atau Regnum.
Konstitusi atau Constitution atau Verfassung berbeda dengan Undang-Undang Dasar atau Grundgesetz. Bila
kita memperhatikan adanya Lex Regia Ataupun Leges Fundamentialis nampak bahwa dalam perkembangan sejarah perjanjian. Tujuan menaskahkan adalah untuk memudahkan pihak-pihak mematuhi hak dan kewajibannya.
Analisis teori konstitusi dapat ditinjau dari sisi hukum (yuridis) dan tertulis atau grundgesetz atau grondswet.
Konstitusi yang ditinjau dari sisi hukum disebut Constitutional Recht, yang diperhatikan ditekankan kepada factor-faktor kekuasaan nyata dalam masyarakat sedangkan grondswet yang diperhatikan semata-mata konstitusi dalam arti sempit yaitu yang tertulis atau Undang-Undang Dasar sajas. Berarti ikhwal konstitusi lebih luas daripada gronswet. Berikut paham Herman Heller mengenai konstitusi :
  1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan belum konstitusi dalam arti hukum.
  2. Kenmudian kehidupan politik dalam masyarakat itu (Die Politis She Vesfassung als gesellschaft Licke Wirklich Keit) dicari unsur-unsur hukumnya memalalui abstraksi barulah menjadi kesatuan kaidah hukum (Ein Rechtsver-Fassung)
  3. Setelah itu ditulis kaidah hukum itu dalam suatu naskah yang disebut Undang-Undang Dasar.
(Moh. Kursnardi dan Harmaili Ibrahim 1976 : 65)

Kita mengenal beberapa istilah konstitusi
1.      Konstitusi dalam arti Materil adalah perhatian terhadap isinya yang terdiri atas pokok yang sangat penting dari struktur dan organisasi Negara.
2.      Konstitusi dalam arti Formil adlah perhatian terhadap posedur, pembentukannya harus istimewa dibandingkan dengan pembentukan perundang-undangan lain.
3.      konstitusi dalam arti tertulis maksudnya konstitusi itu dinaskahkan tertentu guna memudahkan pihak-pihak mengetahuinya.
4.      konstitusi dalam arti merupakan undang-undang tertinggi adalah baik pembentukan dan perubahannya melalui prosedur istimewa dan juga ia merupakan dasar tertinggi dari perundang-undangan lainnya yang berlaku dalam Negara itu.

Selanjutnya, berikut ini adalah paham beberapa sarjana tentang konstitusi.
5.      Konstitusi menurut paham Leon Duguit (Ibid: Kuliah 1955/1956)
Sebagai sosiolog, Duguit bersikap realitis, ia memandang hukum bukanlah sebagai norma tetapi hukum sebagai peristiwa (Rech Als Feit); jadi hukum yang sungguh-sungguh timbul dan tumbuh dalam masyarakat.
Hukum dihubungkan dengan kesetiakawanan (solidariteit) de Facto, yakni ikatan sosial, karena menurut Duguit, hukum adalah penjelmaan dari sociale solidariteit.
Arti dari perkataan “solidariteit” itu sendiri adalah :
a)      Onderling Hulbetoon = Solidarismus = Gotong Royong, yakni bekerja untuk kepentingan umum tanpa mengharapkan imbalan jasa.
b)      Wederkerige hulpbetoon = Mutualismus = Tolong Menolong, yakni pertolongan yang diberikan pada seseorang dengan harapan bahwa kelak akan mendapat kan balasan.
Tetapi yang dimaksud Duguit dengan sociale solidariteit adalah hubungan fungsi antara anggota-anggota masyarakat. Hukum merupakan ciptaan psikologis dari masyarakat yang ditentukan oleh kebutuhan material, intelektual dan moral.
Selanjutnya menurut Duguit, Peraturan hukum objektif itu tidak tergantung pada kehendak manusia. Dan pekerjaan pembuat Undanga-undang (Wetgever) sesungguhnya bukanlah membentuk (con-strueren) norma-norma yang sudah ada didalam masyarakat.
Dan menurut kenyataan bahwa menentukan struktur Negara adalah kaum kapitalis, kaum feudal, kaum proletar maupun kaum militer dan lain-lain yang merupakan factor-faktor kekuasaan yang nyata (de riele machtsfactoren) di dalam masyarakat.
Dengan demikian menurut Duguit, konstitusi bukanlah sekedar undang-undang dasar yang memuat sejumlah atau kumpulan norma-norma semata-mata, akan tetapi struktur Negara nyata-nyata terdapat dalam kenyataan masyarakat. Dengan perkataan lain, konstitusi adalah factor-faktor kekuatan yang nyata (de riele machtsfactoren) yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.

6.      Konstitusi menurut paham Maurice Hauriou (Ibid: Kuliah 1955/1956)
Pandangan mengenai hukum adalah realistis, sebab ia meliahat recht als feit, seperti Duguit. Tetapi yang mendasari pendapatnya adalah ide. Oleh karena itu, konsepsinya bersifat idealist realisme.
Menurut hauriou, yang penting dalam kenyataan masyarakat (sociale wekelijkheid) bukanlah norma-norma hukumnya, melainkan lembaga-lembaganya (instellingen-nya), baik lembaga-lembaga Negara (staatsinstellingen). Seperti halnya “Negara” yang merupakan suatu lembaga (institution). Demikian Pula “konstitusi”, sebagai suatu instution tidak lain dari pada hukum yang hidup dalam masyarakat (social recht) yang merupakan penjelmaan kembali ide-ide yang baik yang menjelma dalam kenyataan masyarakat (sociale werkelijkheid), yang sebagian unsur-unsur normative-nya di-constateer pembuat undang-undang menjadi suatu lembaga hukum (rechtsinstelligen).
Dengan demikian menurut Houriou, institution itu mengandung tiga unsure pokok, yaitu :
  1. Idee, yakni suatu cita-cita yang baik yang menjelma dalam masyarakat.
  2. Elite, yakni lingkungan intellectueel atau the rulling class yang lebih dulu menyerap atau menerima ide tadi untuk selanjutnya merumuskan dan menyebarkan ide tersebut kepada masyarakat.
  3. Milieu, yakni masyarakat yang harus sudah matang untuk menerima ide tersebut.
Sedangkan tujuan dari konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara :
  1. Ketertiban (de orde), (ketertiban masyarakat).
  2. Kekuasaan (het gezag), (yang mempertahankan orde tadi).
  3. Kebebasan (de vrijheid), (yakni kebebasan pribadi dan kebebasan manusia).

7.      Konstitusi menurut paham Ferdinand Lassalle (Ibid: Kuliah 1955/1956)
Lassale membagi konstitusi dalam dua pengertian yaitu :
  1. Pengertian sosiologis atau politis (sociologische atau politische bagrip); “konstitusi adalah synthese factor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat”. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu Negara. Kekuasaan-kekuasaan tersebut diantaranya : raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain, itulah yang sesungguhnya konstitusi.
  2. Pengertian yuridis (yuridische begrip); “konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan”. Nyatalah bahwa Lassalle di pengaruhi pula oleh paham kondifikasi yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar.
Dari pengertian sosiologis atau politis, ternyata Lassalle juga menganut paham bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar undang-undang dasar.
Berkenaan dengna pengertian yuridis, maka paham Lassalle sudah sesuai dengan pengertian yuridis, maka paham Lassalle sudah sesuai dengan paham modern tentang bentuk konstitusi, yaitu harus merupakan naskah tertulis. Tetapi tentang isi konstitusi masih tidak sesuai karena menurut paham modern bahwa tidak semua lembaga atau bangunan (Alle Institutionen) akan tetapi hanya memuat garis-garis besarnya saja.
Disamping itu, Lassalle pun tidak memberikan ketegasan tentang cirri konstitusi sebagai undang-undang yang tertinggi (de hoogste wet).

8.      Konstitusi menurut paham A.A.H. Struycken (Ibid)
Menurut Struycken, konstitusi adalah undang-undang yang memuat garis-garis besar dan asas-asas tentang organisasi daripada Negara. Jadi, Struycken adalah termasuk penganut paham bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Tetapi stuycken pun tidak menyebutkan dengan tegas tentang sifat undang-undang yang tertinggi (de hoogstewet) dari konstitusi.
Walaupun demikian, dengan menyebutkan suatu undang-undang (een-wet)berarti Struycken juga menghendaki konstitusi sebagai naskah yang tertulis, hal mana sesuai dengan paham modern. Mengenai isi konstitusi dikatakannya sendi-sendi dan asas-asasnya saja sehingga tidak perlu mencerminkan seluruh masalah yang penting secara lengkap, hal mana sesuai pula dengan paham modern.
9.      Konstitusi Menurut Dr. Gruys (Ibid)
Undang-undang dasar adalah suatu jenis istimewa undang-undang (Grondwet is een bijzondere sort van wet). Jadi, undang-undang dasar merupakan species dari pengertian genus undang-undang. Gruys mengemukakan tiga pengertian undang-undang yakni :
  1. Undang-undang = hukum objektif (objectief rech). Arti kuno ini masih dapat kita lihat dalam istilah sah (wetting) atau menurut undang-undang (wettelijk) yang berarti sesuai dengan hukum atau berlaku (rechmatig/rechtgelding) atau sah menurut peraturan hukum objektif.
  2. Undang-undang = dalam arti formal berarti suatu keputusan yang berasal kekuasaan tertinggi Negara. Kekuasaan tertinggi Negara (hoogste staatgezag) ini dalam Negara demokrasi ialah parlemen dan pemerintah. Jadi, undang-undang dalam arti formal (wet in formalle zin) adalah tidak lain dari pada persesuaian kehendak antara parlemen dan pemerintah.
  3. Undang-undang dalam arti materiel berarti setiap keputusan penguasa yang mengandung tujuan yang bersifat umum. Setiap keputusan penguasa (ieder overheidsbesluit), berarti tidak perlu yang tertinggi tetapi badan apa saja, asal mempunyai kekuasaan legislative. Jadi mungkin tingkat propinsi atau kabupaten, asal mempunyai tujuan yang bersifat umum (algemene strekking).
Demikian pula undang-undang dasar yang merupakan species dari pengertian genus undang-undang, menurut Gruys mempunyai tiga arti yaitu:
1.      undang-undang dasar = dalam arti formal, sdalah suatu undang-undang yang dibuat secara istimewa dan ditinjau kembali secara istimewa dan ditinjau kembali secara istimewa pula. Jadi menurut Gruys, undang-undang dasar bukanlah undang-undang biasa melainkan undang-undang istimewa yakni yang dibentuk dan di ubah secara istimewa.
2.      undang-undang dasar = dalam arti materiel, adalah suatu undang-undang yang mengatur pokok-pokok dari alat perlengkapan Negara dan penyelenggaraan Negara. Jadi tentang isisnya adalah mengenai struktur bangunan Negara dan functie administrasi Negara.
3.      undang-undang dasar = sebagai naskah yang mempunyai nilai-nilai kenegaraan (staaskundige waarde). Naskah politik misalnya naskah Uni Van Utrecht, jadi naskah politik yang penting isisnya.
Menurut Gruys undang-undang dasar yang sama dengan Grundgesetz harus merupakan undang-undang yang tertinggi, dan yang baik prosedur pembentukannya maupun perubahannya haruslah istimewa. Hal tersebut pulalah yang membedakan undang-undang dasar dari undang-undang biasa.

10.  Konstitusi menurut Hermann Heller (Ibid)
Cara perolehan pengetahuan (Methode van kennis verkrijging) yang dipergunakan Herman Heller adalah melalui empat fase, yaitu:
  1. Perumusan masalahnya;
  2. Penentuan patokan kerja;
  3. Pembentukan paham dasar;
  4. Penyusunan pendapat dalam suatu sistematik.
Berkenaan dengan arti konstitusi, Herman Heller mengemukakan tiga pengertian, yaitu :
1.      Die polistische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2.      Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
3.      Die geschereiben verfassung. Konstitusi yang di tulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi, yang berlaku dalam suatu Negara.
Dengan demikian, bahwa konstitusi yang ditulis atau disebut juga dengan undang-undang dasar, hanyalah sebagian dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat, yang bersifat sosiologis dan politis. Ingat akan paham Leon Duguit, Maurice Hauriou maupun Ferdinand Lasselle tentang konstitusi.
Bahwa dengan abstraksi, unsure-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan kesatuan kaidah hukum sehingga jelas nampak sifat yuridisnya, yang perwujudannya disebut rechtverfassung.

11.  Konstitusi menurut paham Carl Schmitt (Djokosutomo op.cit: Kuliah 1955/1956)
Carl Schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian karena pengertian pokok pertama terbagi lagi dalam 4 sub pengertian, dan pengertian pokok kedua mempunyai 2 sub pengertian, maka jumlah seluruhnya menjadi 8 pengertian yaitu:
1.      Pengertian pokok pertama:
Konstitusi dalam arti absolute (absolute verfassungbegriff)
Perkataan “Absolut” mengandung arti bahwa konstitusi disamping memuat tentang bentuk Negara, factor integrasi dan norma-norma dasar atau struktur pemerintahan, juga mencakup semua hal yang pokok yang ada pada setiap Negara pada umumnya.
Pengertian pokok yang pertama ini terbagi dalam empat sub pengertian yaitu :
a)      Konstitusi menggambarkan hubungan antara factor-faktor kekuatan yang nyata (de riele machtsfactoren) dalam suatu Negara, yakni hubungan antara raja, parlemen, cabinet, partai politik, preassure group dan lain-lain, serta mencakup semua bangunan hukum dan organisasi yang ada dalam negar, jadi sama dengan paham yang dikemukakan oleh Lassalle.
b)      Konstitusi memuat forma formarum, yakni bentuk yang menegtukan bentuk-bentuk lainnya, sesungguhnya sudah sejak ahli-ahli Negara yunani telah menganggap bahwa bentuk Negara adalah hal yang sangat penting bagi hal ihwal kenegaraan. Selanjutnya untuk dapat mengetahui bahwa bentuk Negara adalah menetukan pula bentuk-bentuk lainnya, caranya ialah meninjau staatssprinecipe (Asas Negara), diantaranya ada 3 yaitu :
1)      Asas daripada bentuk Negara (principe van de staatsvorm)
2)      Asas daripada dan yang timbul dari bentuk Negara (principe van e uit de staatsvorm)
3)      Asas (principe) dalam arti asas pemerintahan (regerings principe)
c)      Konstitusi sebagai factor integrasi.
Carl Schmitt menghubungkannya dengan “integration theory” dari Rudolf Smend (dalam bukunya : Verfassung und verfassung-recht)
Menurut Smend ada 3 macam integrasi yaitu:
1)      Personlijke integratie, contohnya: Presiden.
2)      Zakelijke integratie, contohnya : bendera, lambing Negara dan lain-lain.
3)      Functionele integratie, yang terdiri dari :
§         Yang bersifat abstrak, contohnya : lagu kebangsaan, bahasa dan lain-lain.
§         Yang bersifat konkrit, contohnya : pemilihan umum, referendum, reformasi cabinet dan lain-lain.
d)      Konstitusi merupakan norm der normen, yakni norma dasar yang menjadi sumber bagi norma-norma lainnya yang berlaku. Carl Schmitt menghubungkannya dengan stufenbau des recht dari hans kelsen. Berlakunya suatu norma senantiasa dapat dikembalikan kepada berlakunya norma yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga akhirnya sampai pada grundnorm.
2.      Pengertian pokok  kedua:
Konstitusi dalam arti relatif (relative verfassungbegriff)
Perkataan “Relatif” mengandung arti bahwa konstitusi dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat, sehingga tidak berlaku umum dan sifatnya adalah relatif karena hanya terdapat dan dimuat dalam konstitusi Negara tertentu saja.
Pengertian pokok yang kedua ini terbagi dalam dua sub pengertian yaitu:
a)      Konstitusi dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu didalam masyarakat.
Sepanjang sejarah, memang mula-mula ada ialah konstitusi dalam arti materiel, yakni tentang cara mengatur organisasi Negara (een redeling van de staatskundige organisatie). Kemudian muncul konstitusi dalam arti formal, yakni mengenai bagaimana terjadinya konstitusi itu.
Disinilah letaknya relativering process, yakni proses dimana konstitusi atau verfassung yang pada mulanya hanya memuat hal-hal  yang pokok, yang mencakup ssemua bangunan hukum dan semua organisasi dalam Negara maupun merupakan forma formarum serta norm der normen, dalam perkembangan selanjutnya memuat pula hal-hal yang dianggap penting dihubungkan dengan kepentingan dari golongan tertentu dalam masyarakat.
b)      Konstitusi dalam arti formal atau konstitusi memperoleh bentuk tertulis, karena konstitusi dalam arti materiel itu penting isinya dan merupakan undang-undang tertinggi, maka prosedur pembentukannya haruslah istimewa. Misalnya bahwa orang-orang yang akan membentuknya haruslah dipilih melalui pemilihan umum dan persyaratan-persyaratan lainnya.
Pada tahap berikutnya mengingat isi konstitusi supaya dapat dibuktikan (bewijsbaar) dan stabil, maka harus diletakkan dalam suatu naskah, sehingga sewaktu-waktu dapat dijadikan jaminan dan bukti apabila diperlukan.
Baik dalam arti formal maupun sifat tertulis, semuanya adalah relatif, karena yang penting ialah konstitusi, sebab isi konstitusi menyangkut nasib Negara.
3.      pengertian pokok ketiga :
Konstitusi dalam arti positif (de positive verfassungbagriff)
Proses relativering terhadap konstitusi, menimbulkan konstitusi dalam arti positif.
Carl Schmitt menghubungkannya dengan ajaran “dezisionismus” yaitu ajaran tentang keputusan. Bahwa disebut dezisionismus, karena titik tolak pahamnya adalah keputusan politik tertinggi (de hoogste politieke beslissing) dari suatu Negara. Menurut Carl Schmitt, verfassung dalam arti positif merupakan keputusan politik yang tertinggi dari suatu bangsa.
4.      pengetian pokok keempat :
Konstitusi dalam arti ideal (idealbegriff  der verfassung)
Konstitusi merupakan wadah yang menampung cita-cita bangsa . bilamana pengertian pokok konstitusi yang ke empat ini  (idealbegriff der verfassung), konstitusi mengandung arti sebagai wadah yang menampung suatu ide, maka ide yang bersangkutan dicantumkan satu persatu sebagai isi konstitusi seperti yang dimaksud dalam pengertian pokok konstitusi yang kedua (relative verfassungbegriff).

12.  Konstitusi menurut paham CF. Strong (Djokosutomo op cit : kuliah 1955/1956)
Strong melihat Negara dalam segi strukturnya, jadi mengenai staatsin-stellingen (bangunan-bangunan Negara), dalam memperbandingkan konstitusi berbagai Negara. Strong sampai pada pola ketata negaranya dengan klasifikasi pembahasan sebagai berikut :
1)      The Nature of the state to wich the constitution applies
2)      The Nature of the legislature
3)      The Nature of executive
4)      The Nature of the judiciary
Ditinjau dari segi hakikat Negara dalam mana konstitusi berlaku, strong mengelompokkan Negara-negara di dunia kedalam dua kelompok besar, yaitu Negara kesatuan dan Negara federal atau serikat.
Negara kesatuan, menurut Strong adalah bentuk Negara dimana wewenang legislative tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislative nasional atau pusat. Walaupun wilayah Negara dibagi dalam beberapa wilayah, tetapi kekuasaan sesungguhya , terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (dalam Negara kesatuan dengan system desentralisasi) tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap ditangan pemerintahan pusat. Jadi, kedaulatan kedalam maupun kedaulatan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat. Dengan demikian yang menjadi hakikat Negara kesatuan ialah kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan Negara federal adalah Negara didalam mana dua Negara atau lebih yang lebih yang sederajat bersatu karena tujuan tujuan tertentu yang sama. Diantara cirri Negara federal, menurut strong, ialah adanya kompromi antara dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yakni kedaulatan Negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan Negara bagian.
Negara-negara dalam suatu Negara federal meskipun menghendaki persatuan, akan tetapi mereka tidak mau bersatu (though the federating units desiring union, they not desire unity). Walaupun terdapat banyak perbedaan antara Negara federal satu sama lain, tetapi ada satu prinsip yang di pegang teguh, yaitu bahwa soal-soal yang menyangkut Negara dalam keseluruhannya diserahkan pada kekuasaan federal.
Kekuasaan yang ada pada Negara federal dibatasi oleh kekuasaan yang ada pada Negara-negara bagian, untuk mencegah timbulnya konflik antara dua kekuasaan tersebut, hal itu diatur secara tegas dan jelas tentang pembagian kekuasaan yang di tuangkan dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian konstitusi dalam suatu Negara federal dapat disamakan sebuah perjanjian atau bersifat sebagai sebuah perjanjian (treaty) yang harus diataati oleh baik Negara federal maupun Negara-negara bagian.
Strong telah menafsirkan konstitusi dalam arti sempit, yakni dapat berupa sebuah naskah ataupun sekumpulan peraturan-peraturan yang terpisah yang mengandung otoritas sebagai hukum tata Negara.
Didalam kenyataan dapat terjadi bahwa suatu konstitusi tidak berlaku secara efektif. Menurut Karl Loewenstein, konstitusi yang demiian mempunyai nilai sitematik, yakni secara hukum berlaku tetapi hanya untuk melaksanakan kepentingan kekuasaan politik penguasa belaka.

13.  Konstitusi menurut paham hawgood (Ibid)
Hawgood dalam bukunya “Modern Constitution Since 1787”, mengupas dua macam bangunan Negara (staatsintellingen), yakni bentuk Negara dan bentuk pemerintahan.
Karena kedua hal tersebut pada hakikatnya tercantum dalam setiap konstitusi, maka dalam hal perbandingan bentuk-bentuk Negara.  Hawgood memperkenalkan beberapa macam bentuk Negara ideal. Tetapi kebanyakan telah merupakan bangunan-bangunan histories, yang sekarang sudah tidak mempunyai arti lagi, oleh karenanya hanya diambil tiga macam saja. Yaitu :
1)      Spontaneous state (spontaneous staat). Konstitusi disebut revolutionary constitution.
Spontaneous state adalah Negara yang timbul sebagai akibat revolusi. Dengan demikian konstitusinya pun bersifat revolusioner. Dan oleh karenanya, konstitusinya disebut revolutionary constitution.
2)      Negotiated State (Parlementaire Staat). Konstitusinya disebut parliamentarian constitution.
Negotiated state adalah Negara yang bersandarkan pada kebenaran relatif. Parlemen adalah merupakan tempat dimana diskusi dan negosiasi tersebut dilaksanakan. Sehingga adanya parlemen yang tercermin dalam konstitusi Negara yang bersangkutan merupakan ciri dari negotiated state. Oleh karena itu, konstitusinya disebut parliamentarian constitution.
3)      Derivative state (efgeleide staat). Konstitusinya disebut neonational constitution.
Derivative state adalah Negara yang mengambil pengalaman dari Negara-negara yang sudah ada. Menurut Hawgood, derivative state ini hanya meniru, tidak ada buah pikiran yang asli (oospronkelijke gedacht). Bentuk negaranya menurun (afleiden) dari negar-negara barat. Keadaan yang demikian disebut neo national. Maksudnya adalah nasionalisme yang timbul karena penjajahan sebagai akibat dari akulturasi proses, sehingga konstitusinya disebut national constitution.
Karena cara yang dipergunakan Hawgood ialah memperbandingkan bentuk Negara, bentuk pemerintahan maupun konstitusi dari berbagai negar, maka metodenya disebut comparative history.


sedot sini gan>>konstitusi.doc


sumber : Prof. Abu Daud Busroh, SH, ILMU NEGARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar